Rabu, 21 Februari 2018

Kurang Selera Makan? Lakukan Hal Ini untuk Mengatasinya

By: Amrin Madolan Tag: Cara Mengatasi, Kesehatan Tradisional, Mengatasi Anak Susah Makan, Pijat Refleksi, Tips Sehat Kurang selera makan memang menjadi masalah sebagian besar orang. Namun tidak dipungkiri bahwa sebagian orang lainnya mencoba mengurangi porsi makannya demi mengontrol berat badan agar tetap ideal. Kurang selera makan merupakan masalah yang kadang tidak disadari, namun perlahan akan menjadi masalah serius dan mengakibatkan masalah yang lebih besar lagi. Oleh karena itu, sedini mungkin kita menyadari akan masalah yang sedang kita alami agar menghindari masalah tersebut menimbulkan masalah baru. Banyak hal yang menjadi penyebab kurangnya selera makan. Setiap orang mungkin berawal dari penyebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kenali terlebih dahulu apa yang menjadi penyebab kurangnya selera makan kita. Selain karena penyakit atau sedang sakit, nafsu makan juga dapat berkurang karena efek dari obat-obatan medis yang sedang dikonsumsi seseorang, atau juga karena program diet menurunkan berat badan yang sedang dijalankan. Nafsu makan yang menurun juga hampir selalu terjadi pada orang berusia lanjut, tanpa alasan yang jelas yang bisa ditemukan. Akan tetapi faktor seperti kesedihan, depresi, dan kecemasan berlebih merupakan penyebab umum kondisi tersebut, dan berdampak pada menurunnya berat badan, khususnya pada usia lanjut. Ketika kita sudah mengetahui penyebab sehingga selera makan kita berkurang, sebaiknya atasi terlebih dahulu penyebab tersebut sambil melakukan beberapa tips yang kami berikan dibawah ini demi mendapatkan hasil terbaik. Pijat refleksi untuk mengatasi kurang selera makan Pijat refleksi terbukti dari tahun ke tahun mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan termasuk mengatasi kurangnya selera makan. Terdapat beberapa titik refleksi yang dapat di pijat untuk mengatasi kurang selera makan, yaitu seperti yang terlihat pada gambar berikut: gambar Titik-titik refleksi untuk kurang selera makan Titik-titik refleksi untuk kurang selera makan Lakukan pemijatan pada titik-titik refleksi seperti yang tampil pada gambar tersebut secara rutin. Untuk mendapatkan hasil maksimal sebaiknya perhatikan tentang beberapa hal dalam melakukan pijat refleksi seperti yang terdapat pada tulisan kami sebelumnya tentang Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Melakukan Pijat Refleksi. Ramuan Tradisional untuk Mengatasi Kurang Selera Makan Seperti yang kami sebutkan sebelumnya bahwa atasi terlebih dahulu penyebab kurangnya selera makan lalu persiapkan ramuan tradisional berikut untuk mendapatkan hasil maksimal. Ramuan Pertama Bahan 1 genggam daun pepaya yang masih muda 1 gelas air masak 1 sendok makan madu murni Pengolahan dan penggunaan Cuci terlebih dahulu daun pepaya, lalu tumbuk sampai halus. Berilah air masak, peraslah dan air perasan tersebut dicampur madu kemudian diaduk rata. Ramuan tersebut diminum 2 kali sehari (setiap kali minum setengah gelas). Ramuan kedua Bahan ½ gelas air panas 1 sendok makan madu ½ sendok teh mahoni. Pengolahan dan penggunaan Seduh serbuk mahoni dengan air panas, aduk hingga rata kemudian masukkan madu dan aduk lagi. minum ramuan ini dalam keadaan masih hangat-hangat kuku 2 kali sehari, ½ gelas setiap kali minum

Minggu, 26 Agustus 2012

http://kajian.net/banner

Minggu, 12 Februari 2012

Shalat Jama’ah

Diposting oleh :12 January 2012 ⋅
At Tauhid edisi VIII/3


Oleh: Ammi Nur Baits

Bismillah. Allahumma yassir wa a-’in

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Ibnu Mas’ud pernah mengatakan: “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah kelak di akhirat sebagai seorang muslim maka hendaklah dia menjaga sholat-sholat wajib itu dengan menghadirinya ketika adzan dikumandangkan……. Sungguh, aku teringat, dahulu jika ada orang yang sengaja meninggalkan sholat jama’ah, dia pasti orang munafiq yang diketahui dengan jelas kemunafikannya. Dulu pernah ada seorang sahabat yang dibawa ke masjid dengan dipapah oleh dua orang, kemudian ditempatkan di shaf.” (HR. Muslim)

MasyaaAllah, sehebat itukah status shalat berjama’ah di mata para sahabat. Unsur benefit (kemanfaatan) pada shalat jama’ah telah memotivasi mereka untuk hadir, walaupun harus dipapah menuju masjid. Sementara kebiasaan shalat jama’ah yang telah menyatu dengan kehidupan beragama, menyebabkan orang yang tidak menghadirinya layak untuk dicap sebagai seorang munafik.

Di sini, kita tidak sedang membahas keutamaan shalat berjama’ah. Karena saya sangat yakin, setiap muslim sadar, shalat berjama’ah memiliki keutamaan yang lebih besar dari pada shalat sendiri. Yang lebih penting adalah bagaimana anda memiliki motivasi untuk shalat berjama’ah, sehingga anda bisa meneladani semangat sahabat dalam menghadiri shalat jama’ah.

Aturan Shalat Jama’ah yang Mungkin Tidak Anda Ketahui

Di kesempatan ini, kita akan mengupas beberapa aturan penting tentang shalat jama’ah yang kurang diperhatikan masyarakat:

Pertama, wudhu di rumah, itulah yang sesuai sunnah.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Diantaranya: Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang bersuci di rumahnya kemudian menuju salah satu rumah Allah (masjid) untuk menunaikan kewajiban Allah…” (HR.Muslim)

Juga dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian berwudhu di rumah kemudian mendatangi masjid maka dia telah mendapatkan pahala shalat sampai pulang..” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Hakim, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dari Salman radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang berwudhu di rumahnya kemudian datang ke masjid maka dia menjadi tamu Allah…” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir)

Dan masih ada seabreg dalil lain yang menunjukkan dianjurkannya berwudhu sebelum anda berangkat ke masjid. Sungguh fenomena yang sangat memprihatinkan, ketika sejumlah kaum muslimin harus berjajar mengantri di tempat wudhu pada saat jum’atan, sementara khatib sudah menyelesaikan paruh khutbahnya. Seharusnya mereka bisa mendapatkan keutamaan datang awal jum’atan. Namun, karena kurang perhatian dengan sunah ini, mereka harus menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan awal khutbah.

Kedua, hindari bau tak sedap.

Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang makan bawang merah atau bawang putih, hendaknya dia menjauhi masjid kami. Karena malaikat terganggu dengan bau yang mengganggu manusia.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hadits ini menuntut anda untuk persiapan sebelum berangkat ke masjid. Memastikan bahwa mulut anda tidak bau, disamping anggota badan yang lain.

Tidak hanya pengaruh makan bawang, tapi mencakup semua makanan dan minuman yang menimbulkan bau wajib untuk dihindari ketika ke masjid. Mohon maaf, termasuk diantaranya adalah rokok. Karena sepanjang sejarah, tidak ada perokok yang mulutnya tidak berbau. Bahkan ini sifatnya lebih permanen. Untuk itu, maaf bagi para perokok, jika anda tidak ingin disebut mengganggu malaikat, segera tinggalkan rokok sekarang juga.

Ketiga, bedoa ketika masuk masjid, terlindungi dari godaan setan.

Ada satu doa ketika masuk masjid, yang layak untuk anda hafal dan anda rutinkan, karena keutamaannya sangat besar:

A-udzu billahil ‘adziim wa bi wajhihil kariim wa sul-thaanihil qadiim minas-syaithaanir rajiim (Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajahNya yang mulia, dan kekuasaanNya yang qadim, dari setan yang terkutuk)

Dinyatakan dalam sebuah hadits, orang yang masuk masjid dan membaca doa di atas maka setan berkata: Dia dilindungi dari gangguanku sepanjang hari. (HR. Abu Dawud, dinilai shahih oeh Al-Albani)

Keempat, jangan duduk sebelum shalat dua rakaat.

Dari Abu Qatadah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian masuk masjid, jangan duduk sampai dia shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari-Muslim). Anjuran ini berlaku umum, termasuk ketika jum’atan. Pada saat anda masuk masjid dan khatib sedang berkhutbah, jangan langsung duduk, tapi shalatlah dua rakaat. Sebagaimana hadits Sulaik bin Hudbah yang masuk masjid ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah kemudian dia langsung duduk. Nabi pun menyuruhnya untuk shalat tahiyatul masjid. (HR. Bukhari)

Kelima, hindari tasybik.

Tasybik adalah meletakkan jari tangan kanan di sela-sela jari tangan kiri. Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian wudhu di rumahnya kemudian menuju masjid maka dia dinilai sedang melaksanakan shalat sampai dia pulang. Karena itu janganlah dia melakukan seperti ini.” Beliau berisyarat dengan melakukan tasybik. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Hakim, dan dinilai shahih dalam Shahih Targhib)

Keenam, jika dikumandangkan iqamah, batalkan shalat sunah.

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila iqamah dikumandangkan maka tidak ada shalat selain shalat wajib.” (HR. Muslim). Sebagian ulama memberikan batasan, keadaan shalat sunah yang dianjurkan untuk dibatalkan adalah jika seseorang itu menyelesaikannya maka dia tidak mendapatkan takbiratul ihram bersama imam. Dinukil dari Syaikh Abu Hamid salah satu ulama Syafi’iyah bahwa yang lebih utama, hendaknya seseorang memutus shalat sunahnya, apabila menyelesaikannya bisa menyebabkan ketinggalan takbiratul ihram. (Fatawa Islam, Sual-jawab, no. 33582)

Hal yang sama juga difatwakan oleh Komite Tetap Fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah). Mereka menjelaskan: Apabila iqamah shalat wajib telah dikumandangkan maka batalkan shalat sunah yang sedang anda kerjakan agar anda mendapatkan takbiratul ihram bersama imam. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits… (kemudian disebutkan hadis di atas). (Fatwa Lajnah, 7/312)

Ketujuh, berebut mendapatkan shaf terdepan.

Semakin dekat dengan imam, semakin besar pahala yang didapatkan. Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Andaikan manusia itu tahu pahala yang diberikan untuk adzan dan menempati shaf pertama, sementara mereka tidak mungkin mendapatkannya kecuali harus dengan undian, niscaya mereka akan rela melakukan undian.” (HR. Bukhari-Muslim)

Satu hal yang yang telah menjadi tabiat manusia, mereka tidak mungkin bersedia untuk melakukan undian, kecuali jika ada hadiah yang besar. Untuk memperebutkan sesuatu yang murah, mereka tidak mungkin bersedia untuk melakukan undian. Karena itu, hadits ini menunjukkan besarnya pahala shaf pertama.

Pada hadits di atas, syariat menuntun kita untuk rebutan dalam urusan akhirat. Terkait hal ini, ulama membuat kaidah: “Mendahulukan orang lain dalam urusan dunia dianjurkan dan mendahulukan orang lain dalam urusan akhirat dimakruhkan.” Berebut untuk mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar sangat dianjurkan. Namun sayang, banyak kaum muslimin yang justru bersikap sebaliknya. Sering kita jumpai orang lebih semangat mempersilahkan orang lain agar menempati shaf di depannya, dan rebutan untuk berada di shaf belakang.

Kedelapan, sambung shaf dan tutup celah shaf.

Sebelum shalat dimulai, umumnya imam mengingatkan agar makmum untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Karena itu bagian penting dalam shalat berjama’ah. Untuk memotivasi hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan keutamaan besar bagi orang yang menyambung shaf. Dari A’isyah radliallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya memberi shalawat kepada orang yang menyambung shaf. Siapa yang menutup satu celah shaf maka Allah akan mengangkatnya satu derajat.” (HR. Ibnu Majah, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Targhib)

Karena itu, anda tidak perlu canggung untuk bergeser ke kanan, ke kiri, atau maju di tengah melaksanakan shalat, ketika ada celah di sekeliling anda. Ketika orang di depan anda membatalkan shalat, jangan biarkan kesempatan ini, langsung maju dan tutup celah shaf. Gerakan ini 100% tidak membatalkan shalat anda. Karena gerakan anda telah dilegalkan hadits di atas.

Kesembilan, mendapatkan doa malaikat.

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang hamba selalu dinilai tengah melaksanakan shalat selama berada di tempat shalatnya dalam rangka menunggu shalat jamaah. Malaikat mendoakannya dengan mengucapkan: Allahummagh-fir lahuu, Allahummar-hamhu (Ya Allah, ampunilah dia dan berilah rahmat kepadanya). Sampai dia pergi atau buang angin.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hadits tersebut menyebutkan dua keuatamaan: anda senantiasa dinilai tengah melaksanakan shalat, meskipun anda sedang duduk-duduk, dan anda mendapatkan doa dari malaikat. Keutamaan ini berlaku baik sebelum shalat wajib maupun sesudah shalat, selama anda masih berada di masjid. Ibnu Batthal mengatakan: “Siapa yang merasa banyak dosa dan dia ingin Allah menghapuskan dosanya, tanpa harus melakukan kerja yang melelahkan, hendaknya dia manfaatkan kesempatan dengan memperlama duduk di tempat shalatnya setelah melaksanakan shalat wajib, agar mendapatkan banyak doa dan permohonan ampun dari malaikat, sehingga berpeluang untuk dikabulkan.” (Syarh Shahih Bukhari Ibnu Batthal, 2/95).

Kesepuluh, shalat sunah sebaiknya dilakukan di rumah.

Berikan jatah shalat sunah di rumah anda. Termasuk diantaranya adalah shalat sunah rawatib. Dari Zaid bin Tsabit radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalat yang dilakukan seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari).

Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jadikanlah shalat sunah kalian di rumah kalian. Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Bukhari). Ibnu Batthal mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan rumah yang tidak pernah digunakan untuk shalat sunah sebagaimana kuburan. (Syarh Shahih Bukhari Ibnu Batthal, 3/176)

Kesebelas, perbanyak dzikir ketika pulang.

Banyak dzikir ketika di masjid, itu satu hal yang lumrah. Karena situasinya sangat mendukung untuk ibadah. Namun tetap rajin berdzikir ketika keluar masjid, itulah yang istimewa. Karena ini tanda bahwa anda tetap menjaga istiqamah dalam beribadah kepada Allah. Itulah yang Allah wasiatkan, apabila seseorang selesai shalat untuk tetap rajin berdzikir, apapun keadaannya. Sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya: “Apabila kalian selesai shalat, berdzikirlah kepada Allah sambil berdiri, duduk, dan ketika berbaring…” (QS. An-Nisaa’: 103). Allahu a’lam. [Ammi Nur Baits]

Sabtu, 11 Februari 2012

Amalan Mudah Berpahala Besar

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:

Bersyukurlah Kawanku…

Karena termasuk kemurahan Allah Ta’ala atas umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dilipatkannya ganjaran dan pahala di dalam beramal.

Dan ini hanya dimiliki oleh umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, subhanallah wal hamdulillah…!

عَنْ عَبْدِ الله أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « إِنَّمَا بَقَاؤُكُمْ فِيمَا سَلَفَ قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ كَمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ ، أُوتِىَ أَهْلُ التَّوْرَاةِ التَّوْرَاةَ فَعَمِلُوا حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ النَّهَارُ عَجَزُوا ، فَأُعْطُوا قِيرَاطًا قِيرَاطًا ، ثُمَّ أُوتِىَ أَهْلُ الإِنْجِيلِ الإِنْجِيلَ فَعَمِلُوا إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ ، ثُمَّ عَجَزُوا ، فَأُعْطُوا قِيرَاطًا قِيرَاطًا ، ثُمَّ أُوتِينَا الْقُرْآنَ فَعَمِلْنَا إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ ، فَأُعْطِينَا قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ ، فَقَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ أَىْ رَبَّنَا أَعْطَيْتَ هَؤُلاَءِ قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ ، وَأَعْطَيْتَنَا قِيرَاطًا قِيرَاطًا ، وَنَحْنُ كُنَّا أَكْثَرَ عَمَلاً ، قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ ظَلَمْتُكُمْ مِنْ أَجْرِكُمْ مِنْ شَىْءٍ قَالُوا لاَ ، قَالَ فَهْوَ فَضْلِى أُوتِيهِ مَنْ أَشَاءُ »

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya bagian kalian terhadap apa yang telah terdahulu dari umat-umat sebelum kalian laksana antar shalat Ashar sampai terbenamnya matahari, kaum ahli kitab Taurat diberikan Taurat lalu mereka mengamalkannya sampai jika telah pertengahan siang, mereka kelelahan, maka mereka diberi (masing-masing) satu qirath, satu qirath, kemudian kaum ahli kitab Injil diberikan Injil, lalu mereka mengamalkannya sampai shalat Ashar, kemudian mereka kelelahan, maka mereka diberi (masing-masing) satu qirath, satu qirath, kemudian kita diberikan Al Quran, lalu kita mengamalkannya sampai terbenam matahari, maka kita diberi (masing-masing) dua qirath, dua qirath. Dua kaum dari dua kitab berkata: “Wahai Rabb kami, Engkau telah memberikan mereka dua wirath-dua qirath sedangkan kami Engkau beri satu qirath-satu qirath, padahal kami lebih banyak amalannya,” Allah Azza wa Jalla berfirman: “Apakah Aku telah menzhalimi sedikit dari pahala kalian?” mereka menjawab: “Tidak,” maka Allah berfirman: “Itulah kemurahan-Ku yang Aku berikan kepada siapa yang Aku kehendaki.” (HR. Bukhari).


Ketauhilah kawanku…

Bahwa life style orang-orang yang diridhai Allah adalah senantiasa merasa sedih dan rugi jika ketinggalan ganjaran dan pahala. Contohnya:

عن نَافِع قَالَ قِيلَ لاِبْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ الله –صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ تَبِعَ جَنَازَةً فَلَهُ قِيرَاطٌ مِنَ الأَجْرِ ». فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما أَكْثَرَ عَلَيْنَا أَبُو هُرَيْرَةَرضي الله عنه . فَبَعَثَ إِلَى عَائِشَةَ رضي الله عنها فَسَأَلَهَا فَصَدَّقَتْ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما لَقَدْ فَرَّطْنَا فِى قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ.

Artinya: “Nafi’ bercerita bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengikuti jenazah maka baginya satu qirath dari pahala,” maka Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: “Abu Hurairah telah berkata begitu berlebihan untuk kita,” lalu beliau pergi menuju Aisyah radhiyallahu ‘anha menanyakan (perihal yang dikatakan oleh Abu Hurairah), dan Aisyah radhiyallahu ‘anha membenarkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anha, maka Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath-qirath (pahala) yang sangat banyak.” HR. Muslim.

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah:

وفيه دلالة على فضيلة بن عمر من حرصه على العلم وتاسفه على ما فاته من العمل الصالح

Artinya: “Di dalam riwayat ini terdapat keutamaan Abdullah bn Umar yaitu kesungguhan beliau untuk mendapatkan ilmu dan sikap merasa rugi beliau atas apa yang tertinggal oleh beliau dari amal shalih.” (Lihat kitab Fath Al Bary, 3/233).

Kawanku…

Sekarang mati kita lihat beberapa contoh dari dilipatkannya ganjaran dan pahal di dalam amalan, semoga kita tergugah untuk mengamalkannya :

Mengikuti muadzdzin di dalam adzannya

عَنْ عَبْدِ اللi بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ –صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللi عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ ».

Artinya: “Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa beliau telah mendengar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian mendengar seorang muadzdzin maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan, kemudian bershalwatlah kalian atasku, karena sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat atasku satu kali shalawat, maka Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali, kemudian mintalah kalian kepada Allah untukku Al Wasilah, karena sesungguhnya ia adalah kedudukan di dalam , tidak pantas mendapatkannya melainkan untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan aku berharap akulah orangnya (yang mendapatkan itu), maka barangsiapa yang memohonkan untukku Al Wasilah maka halal bagiannya syafaat.” HR. Muslim.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الله أَنَّ رَسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Artinya: “Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan: “اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ (Allahumma Rabba Hadzihid da’watit tamati wash shalatil qaimati, Aati Muhammadan Al Wasilata wa Al fadhilata Wab’atshu Maqaman Mahmudan Alladzi wa’attahu) (Wahai Allah, rabbnya panggilan yang sempurna dan shalat yang didirikan ini, berikanlah kepada Muhammad Al Wasilah dan kemuliaan serta dudukkanlah beliau pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan untuk beliau), maka halal syafaatku untuknya pada hari kiamat.” HR. Bukhari.

Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat dan ketika hendak tidur

عن أَبَي أُمَامَةَ يَقُولُ رضي الله عنه : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلا الْمَوْتُ).

Artinya: “Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, niscaya tidak ada yang menahannya masuk melainkan kematian.” HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6464.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah diperintahkan menjaga harta sedekah, kemudian beliau didatangi oleh pencuri selama tiga hari dan selalu beliau bisa tangkap dan selalu beliau lepaskan, dan ketika tertangkap pada hari yang ketiga, pencuri ini berkata kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

قَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ (اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ ، فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- «مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ» قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ ، يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ. قَالَ «مَا هِىَ» قُلْتُ قَالَ لِى إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ (اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ) وَقَالَ لِى لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ. فَقَالَ النَّبِىُّ –صلى الله عليه وسلم- «أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ» قَالَ لاَ قَالَ «ذَاكَ شَيْطَانٌ»

Artinya: “Jika engkau kamu tidur di kasurmu maka bacalah ayat kursi ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ) sampai habis satu ayat, maka sesungguhnya masih saja ada seorang penjaga dari Allah untukmu dan setan tidak akan pernah mendekatimu sampai pagi.” Lalu kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Maka aku lepaskan dia dan ketika sudah pagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” aku menjawab: “Wahai Rasulullah, dia mengaku bahwa dia mengajariku beberapa bacaan, semoga Allah memberikan kebaikan kepadaku dengannya, lalu aku lepaskan dia.” Nabi bertanya: “Apakah bacaan itu?”, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Jika engkau kamu tidur di kasurmu maka bacalah ayat kursi ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) sampai habis satu ayat, maka sesungguhnya masih saja ada seorang penjaga dari Allah untukmu dan setan tidak akan pernah mendekatimu sampai pagi”. Dan mereka adalah orang-orang yang paling semangat atas kebaikan. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Adapun dia, sungguh dia telah berlaku jujur kepadamu tetapi dia adalah tukang dusta, apakah kamu mengetahui siapakah yang kamu bicarai selama tiga hari, wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab: “Tidak”, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda: “Dia adalah setan.” HR. Bukhari.

Membaca 2 ayat terakhir dari surat Al Baqarah

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم - « مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

Artinya: “Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah pada sebuah malam maka dua ayat tersebut mencukupkannya.” HR. Bukhari.

Makna “dua ayat tersebut mencukupkannya”:
- Mencukupkannya dari bangun malam
- Mencukupkannya dari membaca Al Quran baik di dalam shalat atau di luar shalat
- Mencukupkannya dalam perkara akidah karena dua ayat tersebut meliputi perkara iman dan amal shalih secara umum.
- Menjaganya dari segala keburukan
- Menjaganya dari keburukan setan
- Menghalangi untuknya keburukan manusia dan jin
- Mencukupkan baginya dari apa saja pahala yang didapat bagi pelakunya daripada amalan apapun.

Al Hafizh menyatakan bahwa makna yang pertama terdapat secara jelas dalam perkatan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan makna yang keempat dikuatkan dengan hadits An Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi.

Adapun Asy Syaukani setelah menyebutkan tujuh makna ini beliau berkata:

ولا مانع من إرادة هذه الأمور جميعها ويؤيد ذلك ما تقرر في علم المعاني والبيان من أن أحذف المتعلق مشعر بالتعميم فكأنه قال كفتاه من كل شر ومن كل ما يخاف وفضل الله واسع

Artinya: “Dan tidak ada yang menghalangi bahwa maknanya adalah dari apa yang disebutkan seluruhnya, dan yang menguatkan hal tersebut adalah apa yang telah tetap di dalam ilmu ma’any dan bayan bahwa penyembunyian apa yang terkait mengisyaratkan keumuman, maka seakan-akan beliau bersabda, dua ayat tersebut mencukupkannya dari setiap keburukan dan setiap apa yang ditakuti, dan kemurahan Allah sangat luas.” Lihat kitab Tuhfat Al Ahwadzi, 8/152.

Bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
عَنْ أَنَسِ بْن مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- « مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ ».

Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat atasku satu shalawat maka niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh shalawat, dihapuskan darinya sepuluh dosa dan diangkatkan untuknya 10 tingkatan.” HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Shahih Al Jami’, no. 6359.

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- «مَنْ صَلَّى عَلَى حِيْنَ يُصْبِحُ عَشْراً وَ حِيْنَ يَمْسِي عَشْراً أَدْرَكَتْهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Artinya: “Abu Ad Darda radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat atasku ketika pagi sebanyak sepuluh kali dan ketika sore sebanyak sepuluh kali maka niscaya syafa’atku akan mendapatinya di hari kiamat.” HR. Ath Thabrani dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al jami’, no. 6357.

Al Bukhari rahimahullah berkata: “Abu Al ‘Aliyah rahimahullah berkata:

قَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ صَلاَةُ اللَّهِ ثَنَاؤُهُ عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَلاَئِكَةِ، وَصَلاَةُ الْمَلاَئِكَةِ الدُّعَاءُ.

“Shalawatnya Allah adalah pujian-Nya atasnya di hadapan para malaikat dan shalawatnya para malaikat adalah doa.” Lihat kitab Shahih Bukhari.

Beristighfar untuk kaum beriman baik lelaki ataupun perempuan

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- «مَنْ اسْتَغْفَرَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ حَسَنَةٍ

Artinya: “Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang meminta ampun untuk kaum beriman lelaki dan perempuan, maka niscaya Allah menuliskan baginya dengan setiap lelaki dan perempuan beriman satu kebaikan.” HR. Ath Tahbarani dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6026.

Mengucapkan subhanallah wa bihamdih

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ –رضى الله عنه– أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– قَالَ «مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ. فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ»

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan Subahnallah wa bihamdih di dalam sehari sebanyak seratus kali maka niscaya terhapus meskipun sebanyak buih lautan.” HR. Bukhari.

Berjabat tangan setelah mengucapkan salam jika bertemu dengan sesama muslim

عَنْ حُذَيْفَةَ، رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إن الْمُؤْمِنُ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فسلم عليه وأخذ بيده فصافحه تَنَاثَرَتِ خَطَايَاهما كَمَا يتنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ"
Artinya: “Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya jika seorang mukim bertemu dengan seorang dengan mukmin lalu dia memberikan salam dan mengambil tangannya dan bersalaman dengannya, maka kesalahan-kesahannya gugur sebagaiman gugurnya dedaunan pohon.” HR. Ath Thabrani dan dishahihkan oleh Al Albani di dalm kitab Silsilat Al Hadits Ash Shahihah, no. 526.

Menyolati jenazah

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ –رضى الله عنه– قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- «مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ» قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ «مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ»

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengikuti jenazah sampai dishalatkan atasnya maka baginya satu qirath (pahala) dan barangsiapa yang menyaksikan sampai dikubur maka baginya dua qirath (pahala)”, beliau ditanya: “Apa itu dua qirath?” beliau menjawab: “Seperti dua gunung yang besar.” HR. Bukhari.

Menunggu pembayaran hutang atau memaafkan bagi siapa yang sulit bayar hutang

عَنْ بُرَيْدَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ «مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِراً كَانَ لَهُ كُلَّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ وَمَنْ أَنْظَرَهُ بَعْدَ حِلِّهِ كَانَ لَهُ مِثلُهُ فِى كُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ»

Artinya: “Buraidah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menangguhkan orang yang sulit membayar hutang, maka baginya setiap hari (seperti) bersedekah dan barangsiapa yang menangguhkannya setelah jatuh temponya maka baginya (seperti) bersedekah sepertinya pada setiap harinya.” HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 68.

Kawanku…

Sungguh jalan-jalan kebaikan terpampang luas dan lebar serta banyak lagi pula mudah…

Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah Ta’ala untuk mengamalkannya setelah kita diberi petunjuk untuk mengetahuinya… Allahumma amin.

*) Ditulis oleh Ahmad Zainuddin, 15 Rabiul Awwal 1433 H, Dammam KSA.

Sudah Siapkah Anda Untuk Ini?

Luangkan waktu Anda untuk membaca ini....

Pernahkan anda berfikir sesaat, bahwasanya anda akan mati…?!

Riwayat dari Al Bara- bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengantarkan seorang jenazah dari kaum Anshar, lalu kami sampai di pekuburan dan ketika dimasukkan ke dalam liang lahad, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dan kami pun duduk di sekitar beliau, seakan-akan di atas kepala kami ada burung, di tangan beliau ada kayu kecil, beliau menusukkannya ke dalam tanah sambil mengangkat kepala seraya berkata: “Mintalah perlindungan kepada Allah dari azab kubur.”



Beliau berkata seperti itu dua atau tiga kali, kemudian bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika hendak meninggalkan dunia menuju kehidupan akhirat maka turunlah para malaikat dari langit, wajah mereka putih seperti matahari, mereka membawa kain kafan dari surga dan minyak wangi dari surga sampai mereka duduk di hadapannya seluas mata memandang kemudian datanglah malaikat maut ‘alaihis salam sampai duduk di sisi kepalanya, kemudian berkata: “Wahai jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya –beliau bersabda- kemudian keluar ruh tersebut sebagaimana keluarnya air dari mulut teko kemudian ia (malaikat maut) mengambilnya dan jika sudah ia ambil maka tidak akan dibiarkan di tangannya sekejap pun sehingga mereka (para malaikat lainnya) mengambilnya dan menempatkannya di dalam kafan.

Dan di dalam minyak wangi tadi dan keluarlah darinya laksana wangi minyak misk yang terdapat di muka bumi, lalu mereka membawanya naik dan tidaklah mereka melewati –dengan mayyit tersebut- seorangpun dari para malaikat kecuali mereka bertanya: “Siapakah ruh yang baik ini?” maka mereka (para malaikat pembawa-pent) akan menjawab: “Fulan bin Fulan dengan nama-namanya yang paling baik yang dulu mereka menamainya ketika ia berada di dunia sehingga mereka sampai ke langit dunia, lalu mereka minta dibukakan untuknya (pintu langit), kemudian dibukakan bagi mereka maka setiap penghuni dari setiap langit mengantarkannya sampai kepada langit selanjutnya sehingga sampai kepada langit yang ke tujuh.

Lalu Allah ta’ala berfirman: “Tuliskanlah hamba-Ku di dalam daftar orang ‘iliiyin dan kembalikanlah ia ke bumi karena sesungguhnya aku telah menciptakannya dari tanah dan ke dalamnya Aku akan kembalikan mereka dan darinya Aku akan mengeluarkannya kembali."

Kemudian ruhnya dikembalikan kepada jasadnya kemudian datanglah dua malaikat mendudukkannya dan keduanya berkata kepada si mayyit: “Siapakah Rabbmu?” ia menjawab: “Rabbku adalah Allah” lalu keduanya bertanya: “Apakah agamamu?" ia menjawab: “Agamaku adalah Islam” keduanya bertanya: “Siapakah orang yang diutus kepada kalian?” ia menjawab: “Dia adalah Rasulullah,” keduanya bertanya: “Bagaimana engkau mengetahuinya?" ia menjawab: "Aku telah membaca Al Quran lalu aku mengimani dan mempercayainya."

Lantas datang suara berbunyi dari langit: "Hambaku telah berkata benar, maka hamparkanlah baginya permadani dari surga dan pakaikanlah ia dengan pakaian surga, dan bukakanlah untuknya satu pintu menuju surga, kemudian datanglah dari pintu tersebut bau wanginya dan indahnya dan diluaskan untuknya kuburannya seluas mata memandang, lalu ia didatangi oleh seseorang yang berwajah bagus, berpakaian bagus, wangi baunya, kemudian ia berkata: "Bergembiralah dengan sesuatu yang menyenangkanmu, hari ini adalah hari milikmu yang dijanjikan kepadamu," kemudian si mayyit berkata kepadanya: "Siapakah anda, wajahmu datang dengan kebaikan?" Kemudian ia menjawab: "Saya adalah amal shalihmu", kemudian ia berkata: "Wahai Rabbku, dirikanlah hari kiamat agar aku bisa kembali kepada hartaku dan keluargaku."

Sedangkan orang kafir sesungguhnya jika hendak meninggalkan dunia menuju akhirat maka datanglah kepadanya para malaikat dari langit, wajah mereka hitam, mereka membawa al-masuh (tenunan yang kasar), kemudian mereka duduk dihadapannya seluas mata memandang kemudian datanglah malaikat maut sehingga ia duduk di sisi kepalanya dan berkata: "Wahai jiwa yang busuk, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan Rabbmu, -beliau bersabda- kemudian ia cabut nyawanya dari jasadnya sebagaimana dicabutnya besi dari wol yang basah, lalu ia mengambilnya dan jika ia telah mengambilnya maka tidak akan ia biarkan di tangannya sekejap matapun, sampai diletakkan di dalam al-musuh, dan keluarlah darinya bau bangkai yang sangat busuk yang pernah ada di atas muka bumi.

Kemudian mereka membawanya naik maka tidak mereka melewati seorangpun dari malaikat kecuali mereka berkata, "siapakah ruh yang buruk ini?" Yang membawanya menjawab: "Fulan bin Fulan" dengan nama yang paling buruk yang mana ia dinamai dengannya ketika ia berada di dunia sehingga ketika sampai pada langit dunia maka mereka minta dibukakan untuknya akan tetapi tidak akan dibukakan baginya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membaca:

(artinya) "Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. " [7.40]

Kemudian Allah ta'ala berfirman: "Tulislah daftarnya di dalam sijjin di dalam bumi yang paling bawah", kemudian ruhnya dilemparkan begitu saja sekuat-kuatnya. Kemudian beliau membaca ayat:

(artinya) "Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh." [22.31]

Kemudian ruhnya dikembalikan kepada jasadnya dan ia didatangi dua orang malaikat kemudia mereka berdua mendudukkannya dan berkata kepadanya: "Siapakah Rabbmu?" lalu ia menjawab: "Haah, haah, aku tidak tahu," kemudian keduanya bertanya kepadanya: "Apakah agamamu?" ia menjawab: "Haah, haah, aku tidak tahu", lalu keduanya bertanya kepadanya: "Siapakah seorang laki-laki yang telah diutus di antara kalian?" ia menjawab: "Haah, haah aku tidak tahu,"

Kemudian terdengar suara dari langit: "Ia telah berbohong, hamparkan baginya permadani dari neraka, bukakanlah satu pintu neraka untuknya, kemudian datanglah panas dan bau racunnya lalu disempitkan atasnya kuburannya sehingga terkumpul seluruh tulang-tulangnya dan datanglah kepadanya seorang yang buruk wajahnya, buruk pakaiannya, busuk baunya, kemudian ia (seseorang tadi) berkata: "Bergembiralah dengan sesuatu yang mencelakakanmu, hari ini adalah harimu yang telah dijanjikan untukmu," kemudian ia bertanya: "Siapakah kamu?" karena wajahmu membawa datang dengan keburukan?" ia menjawab: "Saya adalah amal burukmu," kemudian ia berdoa: "Wahai rabbku janganlah dibangkitkan hari kiamat."

[Hadits riwayat Imam Ahmad (no. 19038) dan dishahihkan oleh Imam Al Albani, di dalam kitab Shahihul Jami' (no. 1676)].

*) Diterjemahkan oleh Abu Abdillah Ahmad Zain, 1430 H

Rabu, 25 Januari 2012

Jalan Menuju Kebahagiaan

Posted by: shirotholmustaqim on: Januari 25, 2012
In: Hikmah Comment!

Penulis : Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Banyak cara dilakukan manusia untuk meraih kebahagiaan. Sebagian mereka beranggapan bahwa kebahagiaan bisa diraih dengan banyaknya harta, kedudukan yang terpandang, dan popularitas yang pantang surut. Tak heran bila manusia berlomba-lomba mendapatkan itu semua, termasuk dengan menggunakan segala cara. Lantas apakah bila seseorang sudah menjadi kaya raya, terpandang, dan terkenal otomatis menjadi orang yang selalu bahagia? Ternyata tidak! Kalau begitu, bagaimana cara meraih kebahagiaan yang benar?

Mungkin anda termasuk satu dari sekian orang yang tengah berupaya mencari cara untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup. Sehingga anda sibuk membolak-balik majalah, tabloid, dan semisalnya, atau mendatangi orang yang berpengalaman untuk mencari kiat-kiat hidup bahagia. Mungkin kiatnya sudah anda dapatkan namun ketika dipraktekkan, kebahagiaan dan ketenangan itu tak kunjung datang. Sementara kebahagiaan dan ketenangan hidup merupakan salah satu kebutuhan penting, apalagi bila kehidupan selalu dibelit dan didera dengan permasalahan, kesedihan dan kegundah gulanaan, akan semakin terasalah butuhnya kebahagian, atau paling tidak ketenangan dan kelapangan hati ketika menghadapi segala masalah.

Sepertinya semua orang hampir sepakat bahwa bahagia tidak sepenuhnya diperoleh dengan harta dan kekayaan karena berapa banyak orang yang hidup bergelimang harta namun mereka tidak bahagia. Terkadang malah mereka belajar tentang kebahagiaan dari orang yang tidak berpunya.

Sebenarnya kebahagiaan hidup yang hakiki dan ketenangan hanya didapatkan dalam agama Islam yang mulia ini. Sehingga yang dapat hidup bahagia dalam arti yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berpegang teguh dengan agama ini. Ada beberapa cara yang diajarkan agama ini untuk dapat mencapai hidup bahagia, di antaranya disebutkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah dalam kitabnya Al-Wasailul Mufidah lil Hayatis Sa‘idah:

1. Beriman dan beramal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَياَةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ ماَ كَانُوا يَعْمَلُوْنَ

“Siapa yang beramal shalih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Ini adalah janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang yang beramal shalih yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan dari keturunan Adam, sementara hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji untuk memberikan kehidupan yang baik baginya di dunia dan membalasnya di akhirat dengan pahala yang lebih baik daripada amalannya. Kehidupan yang baik mencakup seluruh kesenangan dari berbagai sisi. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan sekelompok ulama bahwa mereka menafsirkan kehidupan yang baik (dalam ayat ini) dengan rezki yang halal lagi baik (halalan thayyiban), sementara Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menafsirkannya dengan sifat qana’ah (merasa cukup), demikian pula yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Wahb bin Munabbih. Berkata ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: “Sesunggguhnya kehidupan yang baik itu adalah kebahagiaan.” Al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah berkata: “Tidak ada bagi seorang pun kehidupan yang baik kecuali di surga.” Sedangkan Adh-Dhahhak mengatakan: “Ia adalah rizki yang halal dan ibadah di dunia serta beramal ketaatan dan lapang dada untuk taat.” Yang benar dalam hal ini adalah kehidupan yang baik mencakup seluruh perkara tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/421)

2. Banyak mengingat Allah (berdzikir) karena dengan dzikir kepada-Nya akan diperoleh kelapangan dan ketenangan, yang berarti akan hilang kegelisahan dan kegundah gulanaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبِ

“Ketahuilah dengan mengingat (berdzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28)

3. Bersandar kepada Allah dan tawakkal pada-Nya, yakin dan percaya kepada-Nya dan bersemangat untuk meraih keutamaan-Nya. Dengan cara seperti ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa serta gundah gulana. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)

4. Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan maupun perbuatan dengan ikhlas kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لاَ خَيْرَ فِي كَثِيْرٍ مِّنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغآءَ مَرْضَاةِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ أَجْرًا عَظِيْماً

“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh ( manusia) untuk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barangsiapa melakukan hal itu karena mengharapkan keridhaan Allah, niscaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas:
“Yakni tidak ada kebaikan dalam kebanyakan pembicaraan di antara manusia dan tentunya jika tidak ada kebaikan maka bisa jadi yang ada adalah ucapan tak berfaedah seperti berlebih-lebihan dalam pembicaraan yang mubah atau bisa jadi kejelekan dan kemudlaratan semata-mata seperti ucapan yang diharamkan dengan seluruh jenisnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan: “Kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) untuk bersedekah,” dari harta ataupun ilmu (dengan mengajarkannya–pen) atau sesuatu yang bermanfaat, bahkan bisa jadi masuk pula di sini ibadah-ibadah seperti bertasbih, bertahmid, dan semisalnya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah dan setiap tahlil adalah sedekah. Demikian pula amar ma‘ruf merupakan sedekah, nahi mungkar adalah sedekah dan dalam kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah (dengan menggauli istri)….” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 202)

5. Menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat.

6. Mencurahkan perhatian dengan apa yang sedang dihadapi disertai permintaan tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa banyak berangan-angan (terhadap perkara dunia) untuk masa yang akan datang karena akan berbuah kegelisahan disebabkan takut/ khawatir menghadapi masa depan (di dunia) dan juga tanpa terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan dan diraih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجزْ، وَإِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَل الشَّيْطَانِ

“Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpamu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini niscaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaithan.” (HR. Muslim)

7. Senantiasa mengingat dan menyebut nikmat yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik nikmat lahir maupun batin. Dengan melakukan hal ini seorang hamba terdorong untuk selalu bersyukur kepada-Nya sampaipun saat ia ditimpa sakit atau berbagai musibah lainnya. Karena bila ia membandingkan kenikmatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan padanya dengan musibah yang menimpanya sungguh musibah itu terlalu kecil. Bahkan musibah itu sendiri bila dihadapi dengan sabar dan ridha merupakan kenikmatan karena dengannya dosa-dosa akan diampuni dan pahala yang besar pun menanti.

8. Selalu melihat orang yang di bawah dari sisi kehidupan dunia misalnya dalam masalah rezki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

9. Ketika melakukan sesuatu untuk manusia, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka namun berharaplah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga engkau tidak peduli mereka mau berterima kasih atau tidak dengan apa yang telah engkau lakukan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ucapan hamba-hamba-Nya yang khusus:

إِنَّماَ نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزآءً وَلاَ شُكُوْراً

“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al-Insan: 9)

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sebagai akhir teruntai doa kepada Rabbul ‘Izzah :

اللّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيْهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي إِلَيْهَا مَعَادِيْ وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلَِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ

“Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang agama ini merupakan penjagaan perkaraku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya, dan perbaikilah bagiku akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, dan jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagiku dalam seluruh kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari seluruh kejelekan.” (HR. Muslim)

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Sumber : http://www.asysyariah.com

Jalan Menuju Kebahagiaan

Posted by: shirotholmustaqim on: Januari 25, 2012
In: Hikmah Comment!

Penulis : Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Banyak cara dilakukan manusia untuk meraih kebahagiaan. Sebagian mereka beranggapan bahwa kebahagiaan bisa diraih dengan banyaknya harta, kedudukan yang terpandang, dan popularitas yang pantang surut. Tak heran bila manusia berlomba-lomba mendapatkan itu semua, termasuk dengan menggunakan segala cara. Lantas apakah bila seseorang sudah menjadi kaya raya, terpandang, dan terkenal otomatis menjadi orang yang selalu bahagia? Ternyata tidak! Kalau begitu, bagaimana cara meraih kebahagiaan yang benar?

Mungkin anda termasuk satu dari sekian orang yang tengah berupaya mencari cara untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup. Sehingga anda sibuk membolak-balik majalah, tabloid, dan semisalnya, atau mendatangi orang yang berpengalaman untuk mencari kiat-kiat hidup bahagia. Mungkin kiatnya sudah anda dapatkan namun ketika dipraktekkan, kebahagiaan dan ketenangan itu tak kunjung datang. Sementara kebahagiaan dan ketenangan hidup merupakan salah satu kebutuhan penting, apalagi bila kehidupan selalu dibelit dan didera dengan permasalahan, kesedihan dan kegundah gulanaan, akan semakin terasalah butuhnya kebahagian, atau paling tidak ketenangan dan kelapangan hati ketika menghadapi segala masalah.

Sepertinya semua orang hampir sepakat bahwa bahagia tidak sepenuhnya diperoleh dengan harta dan kekayaan karena berapa banyak orang yang hidup bergelimang harta namun mereka tidak bahagia. Terkadang malah mereka belajar tentang kebahagiaan dari orang yang tidak berpunya.

Sebenarnya kebahagiaan hidup yang hakiki dan ketenangan hanya didapatkan dalam agama Islam yang mulia ini. Sehingga yang dapat hidup bahagia dalam arti yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berpegang teguh dengan agama ini. Ada beberapa cara yang diajarkan agama ini untuk dapat mencapai hidup bahagia, di antaranya disebutkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah dalam kitabnya Al-Wasailul Mufidah lil Hayatis Sa‘idah:

1. Beriman dan beramal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَياَةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ ماَ كَانُوا يَعْمَلُوْنَ

“Siapa yang beramal shalih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Ini adalah janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang yang beramal shalih yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan dari keturunan Adam, sementara hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji untuk memberikan kehidupan yang baik baginya di dunia dan membalasnya di akhirat dengan pahala yang lebih baik daripada amalannya. Kehidupan yang baik mencakup seluruh kesenangan dari berbagai sisi. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan sekelompok ulama bahwa mereka menafsirkan kehidupan yang baik (dalam ayat ini) dengan rezki yang halal lagi baik (halalan thayyiban), sementara Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menafsirkannya dengan sifat qana’ah (merasa cukup), demikian pula yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Wahb bin Munabbih. Berkata ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: “Sesunggguhnya kehidupan yang baik itu adalah kebahagiaan.” Al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah berkata: “Tidak ada bagi seorang pun kehidupan yang baik kecuali di surga.” Sedangkan Adh-Dhahhak mengatakan: “Ia adalah rizki yang halal dan ibadah di dunia serta beramal ketaatan dan lapang dada untuk taat.” Yang benar dalam hal ini adalah kehidupan yang baik mencakup seluruh perkara tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/421)

2. Banyak mengingat Allah (berdzikir) karena dengan dzikir kepada-Nya akan diperoleh kelapangan dan ketenangan, yang berarti akan hilang kegelisahan dan kegundah gulanaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبِ

“Ketahuilah dengan mengingat (berdzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28)

3. Bersandar kepada Allah dan tawakkal pada-Nya, yakin dan percaya kepada-Nya dan bersemangat untuk meraih keutamaan-Nya. Dengan cara seperti ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa serta gundah gulana. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)

4. Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan maupun perbuatan dengan ikhlas kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لاَ خَيْرَ فِي كَثِيْرٍ مِّنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغآءَ مَرْضَاةِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ أَجْرًا عَظِيْماً

“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh ( manusia) untuk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barangsiapa melakukan hal itu karena mengharapkan keridhaan Allah, niscaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas:
“Yakni tidak ada kebaikan dalam kebanyakan pembicaraan di antara manusia dan tentunya jika tidak ada kebaikan maka bisa jadi yang ada adalah ucapan tak berfaedah seperti berlebih-lebihan dalam pembicaraan yang mubah atau bisa jadi kejelekan dan kemudlaratan semata-mata seperti ucapan yang diharamkan dengan seluruh jenisnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan: “Kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) untuk bersedekah,” dari harta ataupun ilmu (dengan mengajarkannya–pen) atau sesuatu yang bermanfaat, bahkan bisa jadi masuk pula di sini ibadah-ibadah seperti bertasbih, bertahmid, dan semisalnya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah dan setiap tahlil adalah sedekah. Demikian pula amar ma‘ruf merupakan sedekah, nahi mungkar adalah sedekah dan dalam kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah (dengan menggauli istri)….” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 202)

5. Menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat.

6. Mencurahkan perhatian dengan apa yang sedang dihadapi disertai permintaan tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa banyak berangan-angan (terhadap perkara dunia) untuk masa yang akan datang karena akan berbuah kegelisahan disebabkan takut/ khawatir menghadapi masa depan (di dunia) dan juga tanpa terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan dan diraih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجزْ، وَإِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَل الشَّيْطَانِ

“Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpamu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini niscaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaithan.” (HR. Muslim)

7. Senantiasa mengingat dan menyebut nikmat yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik nikmat lahir maupun batin. Dengan melakukan hal ini seorang hamba terdorong untuk selalu bersyukur kepada-Nya sampaipun saat ia ditimpa sakit atau berbagai musibah lainnya. Karena bila ia membandingkan kenikmatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan padanya dengan musibah yang menimpanya sungguh musibah itu terlalu kecil. Bahkan musibah itu sendiri bila dihadapi dengan sabar dan ridha merupakan kenikmatan karena dengannya dosa-dosa akan diampuni dan pahala yang besar pun menanti.

8. Selalu melihat orang yang di bawah dari sisi kehidupan dunia misalnya dalam masalah rezki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

9. Ketika melakukan sesuatu untuk manusia, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka namun berharaplah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga engkau tidak peduli mereka mau berterima kasih atau tidak dengan apa yang telah engkau lakukan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ucapan hamba-hamba-Nya yang khusus:

إِنَّماَ نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزآءً وَلاَ شُكُوْراً

“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al-Insan: 9)

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sebagai akhir teruntai doa kepada Rabbul ‘Izzah :

اللّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيْهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي إِلَيْهَا مَعَادِيْ وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلَِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ

“Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang agama ini merupakan penjagaan perkaraku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya, dan perbaikilah bagiku akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, dan jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagiku dalam seluruh kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari seluruh kejelekan.” (HR. Muslim)

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Sumber : http://www.asysyariah.com